Health  

Indonesia Punya 17.000 Tanaman Obat, Kenapa Obat Herbal China Lebih Diminati?

Indonesia Punya 17.000 Tanaman Obat, Kenapa Obat Herbal China Lebih Diminati?

Melex.id – Indonesia punya 17.000 tanaman obat yang mana berpotensi besar jadi obat herbal untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tapi kenapa ya, rakyat lebih tinggi percaya dengan obat tradisional China yang digunakan mayoritas ilegal?

Ahli Toksikologi Forensik Universitas Udayana, Prof. I Made Agus Gelgel Wirasuta menjelaskan fonomena ini tiada lepas dari kandungan unsur kimia obat (BKO) yang tersebut dimasukan dalam obat herbal tersebut. Sedangkan Indonesia, dalam hal ini Badan Pengawas Obat kemudian Makanan (BPOM) melarang praktik itu oleh sebab itu berbahaya untuk kesehatan.

“Obat China yang mana masuk ke Indonesia itu saya pernah mengontrol ketika dijual sebagai penurun tensi, dia mengizinkan kalau di area China menambahkan BKO,” ujar Prof. Gelgel acara konferensi HPTLC Association Indonesia Chapter di area Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 31 November 2023.

Lelaki yang juga menjabat sebagai President of Indonesia Chapter Of HPTLC Association Udayana University itu menjelaskan sebab obat China mengandung BKO yang bisa jadi memberikan hasil instan itu, akhirnya dipercaya warga sebagai obat herbal yang tersebut manjur untuk beragam penyakit tertentu.

Ilustrasi Obat Herbal (Freepik)
Ilustrasi Obat Herbal (Freepik)

Padahal itu adalah tindakan penyalahgunaan akibat produsen tidak ada menjelaskan secara gamblang, dalam obat herbal itu mengandung substansi kimia obat. Sedangkan regulasi di dalam Indonesia yang mana dibuat BPOM, jika komoditas didaftarkan sebagai obat herbal maka 100 persen harus mengandung herbal alami, juga bukan boleh ada chemical seperti BKO.

“Kualitas obat kita sesuai dengan regulasi, organik herbal 100 persen bukan boleh ada chemical dalam dalamnya. Sehingga hati-hati, akibat regulasi di tempat China kemudian India masih mengizinkan praktik itu,” jelas Prof. Gelgel.

Perlu diketahui selaiknya obat, jika BKO dimasukan dalam obat herbal mampu menimbulkan efek samping yang tersebut tak diinginkan seperti ruam alergi atau bahkan parahnya mampu merusak ginjal. Sedangkan obat herbal umumnya cenderung lebih tinggi aman dan juga minim efek samping, sehingga bisa saja digunakan untuk jangka panjang lantaran 100 persen terbuat dari unsur alami.

“Coba saya tipu masyarakat, katakanlah obat flu di tempat dalamnya ada dexametason ada parsetamol, nggak beda sangat kita. Oh itu diketahui tradisional serta herbal yang dimaksud bagus. Kita itu, dikarenakan regulasi kita mengatur, kita menjamin kualitas 100 persen sesuai dengan judulnya, jadi alam ya alam,” papar Prof. Gelgel.

Dexametason adalah obat kortikosteroid untuk mengobati peradangan, radang sendi, lupus, hingga gangguan pernapasan.

Sedangkan parasetamol adalah obat analgesik kemudian antipiretik yang digunakan banyak digunakan untuk meredakan sakit kepala ringan akut hingga demam.

Kedua obat ini tak boleh sembarangan digunakan oleh sebab itu bisa saja menimbulkan efek samping pada tubuh, sehingga harus melalui resep dokter.

Sementara itu Prof. Gelgel juga mengakui penelitian obat herbal masih terbatas pada Indonesia serta belum terstruktur dengan baik, sehingga tak bisa saja memenuhi tuntutan industri. Kondisi ini akhirnya memproduksi harga jual obat yang mana statusnya sangat dibutuhkan di dalam Indonesia mahal, dari mulai obat hipertensi hingga diabetes akibat masih bergantung pada impor.

Alhasil, akibat Kementerian Kesehatan memacu para peneliti semakin banyak menimbulkan studi tentang obat tradisional, penting juga kehadiran Kromatografi Lapis Tipis versi Kinerja Tinggi untuk menganalisis tanaman obat seperti HPTLC.

Teknologi analisis tanaman obat sangat dibutuhkan untuk mempercepat produksi obat herbal dalam negeri, dengan cara profiling tanaman obat. Ini lantaran walaupun tanaman obat pada Indonesia jumlahnya banyak, tapi bukan tahu mana yang mana mengandung substansi terlibat sesuai kebutuhan.

Kebutuhan itu meliputi kadar materi berpartisipasi di area tanaman satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Seperti misalnya, tanaman sambiloto ada pada 11 puncak gunung di dalam Indonesia, tapi dari 11 itu ada 1 yang tersebut tidak ada mengqndung komponen terlibat yang dimaksud dicari, maka tanaman di tempat daerah hal tersebut bukan mampu digunakan alias dicoret

Atau mampu juga tanaman obat di area daerah hal itu kadarnya terlalu rendah sehingga bukan dibutuhkan industri obat. Jadi kesimpulannya, tidaklah semua sambiloto sanggup dibuat sebagai obat herbal. Profilling inilah yang dimaksud diperlukan, akibat acap kali lingkungan, tanah, dan juga udara mempengaruhi sebuah tanaman termasuk kandungan substansi bergerak di dalam dalamnya.

“Saat ini kan yang penting dia sambiloto, pahitan selesai, tapi industri obat herbal tak bisa saja seperti itu,” pungkas Prof. Gelgel.

Sumber : Suara.com