Melex.id –
Jakarta – Ketua Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Moeldoko mengungkapkan 3 tantangan yang mana harus dibereskan untuk mengembangkan industri sawit di tempat dalam dalam negeri. Hal itu, ujarnya, dibutuhkan sebab industri sawit berperan besar bagi perekonomian negara.
Dia mengatakan, saat ini diversifikasi sawit di tempat dalam RI masih dalam level medium untuk refined oil (minyak olahan). Sementara, beberapa perluasan lanjutan seperti biodiesel masih terbatas apalagi yang mana berkaitan dengan oleochemical.
“Beberapa hasil penelitian menunjukkan diversifikasi saat ini baru 20-30% dari prospek yang dimaksud ada. Untuk dapat mengembangkan kesempatan industri sawit ke depan, ada 3 tantangan yang tersebut dimaksud harus kita jawab bersama,” katanya dalam Special Dialogue CNBC Indonesia, ‘Menata Masa Depan Kelapa Sawit Indonesia’ di tempat area Jakarta, Kamis (16/11/2023).
“Pertama, masih rendahnya produktivitas sawit rakyat. Kedua, berkaitan dengan status lahan sawit lantaran petani masih banyak yang digunakan digunakan masuk kawasan hutan. Ketiga, keberlanjutan usaha. Ketiga hal ini harus jadi atensi kita semua,” jelas Moeldoko.
Dia menuturkan, produktivitas tandan buah segar (TBS) sawit rakyat saat ini masih berkisar 0,6-1,2 ton per hektare (ha) dengan kandungan minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) 2,8-3,4 ton per ha.
Sementara, produktivitas kebun sawit perusahaan menghasilkan 4,2-4,5 ton CPO per ha.
Sehingga, imbuh dia, secara keseluruhan produksi CPO Indonesia diproyeksikan mampu mencapai 100 jt ton pada 2040. Namun, produksi nasional saat ini baru mencapai 46,9 jt ton.
“Untuk memacu peningkatan produktivitas rakyat, upaya pertama yang tersebut hal itu perlu dikerjakan adalah peremajaan tanaman yang dimaksud sudah tua dan juga juga bukan produktif, atau tambahan kita kenal dengan replanting,” katanya.
“Presiden Joko Widodo mempunyai perhatian khusus terhadap upaya ini lalu mencanangkan program peremajaan sawit rakyat atau PSR. Namun sampai pertengahan 2023 capaian PSR baru 280.620 hektare atau baru 56% dari target tahap 1 seluas 500 ribu hektare,” sebutnya.
Dia menjabarkan, kendala terbesar pelaksanaan PSR adalah akibat masih banyaknya perkebunan sawit rakyat yang masuk kawasan hutan. Karena itu lah, ujarnya, pemerintah kemudian membentuk Satgas Sawit.
“Satgas ini bertugas melakukan perbaikan serta pembaruan data, perbaikan tata kelola, serta melakukan verifikasi perizinan bidang perniagaan sebagai bagian upaya dalam program padu serasi,” katanya.
“Menyelesaikan persoalan sawit dalam kawasan hutan, upaya perbaikan pendataan kemudian penyelesaian legalitas sawit dalam kawasan hutan, juga jaminan keberlanjutan industri persawitan Indonesia ke depan yang dimaksud ditandai dengan penerbitan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” pungkas Moeldoko.
Menurut Moeldoko, sejak kebijakan ISPO diberlakukan, perkebunan sawit milik rakyat yang digunakan hal tersebut sudah bersertifikat ISPO baru 0,33% atau setara 22,600 ha. Sedangkan perkebunan sawit korporasi yang mana sudah bersertifikasi ISPO sudah mencapai 4.490.254 ha atau 43% dari total perkebunan sawit yang mana digunakan dikelola korporasi.
Artikel Selanjutnya Di Luar Dugaan, Ternyata Petani Sawit Punya Cawapres Pilihan
Sumber :CNBC